5/25/14
0 komentar

Diskriminasi Regulasi Menko Kesra RPP Tembakau

2:26 AM
Diskriminasi Regulasi Menko Kesra RPP Tembakau
Aksi penolakan RPP Tembakau. Foto: ist.
Diskriminasi Regulasi

1. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jelas dirasakan mendiskriminasi industri sektor tembakau. Sebab pada Bagian Tujuhbelas perihal Pengamanan Zat Adiktif, khususnya Pasal 113 ayat (2), secara khusus dan tersendiri mendudukkan tembakau sebagai satu-satunya senyawa adiksi yang berbahaya bagi kesehatan. Padahal jika kita berbicara senyawa adiksi yang oleh berbagai otoritas riset telah dinyatakan atau dianggap berbahaya bagi kesehatan, tentu sebenarnya akan berjajar banyak sekali produk yang masuk dalam kualifikasi atau kategorisasi adiksi tersebut. Ambilah sekadar contoh, produk Coca-Cola atau Mc Donald. 

2. Karena itu KNPK mentengarai ada kepentingan modal asing bekerja di balik proses legislasi UU Kesehatan tersebut. Bahkan, belakangan terungkap pembiayaan dalam jumlah sangat besar dari lembaga donor asing. Sebutlah Bloomberg Initiative, misalnya, yang membiayai gerakan global anti-rokok setidaknya pada 15 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sejak tahun 2007 hingga kini dana ratusan milyaran telah digelontorkan baik secara langsung atau tidak langsung ke Pemerintah, legislatif maupun berbagai ormas di tingkat masyarakat sipil.

3. Bagaimanapun, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau yang lebih kita kenal dengan nama “RPP Tembakau” adalah sebuah peraturan pelaksana atau mandat konstitusional Pasal 116 UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun jika kita mengamati RPP Tembakau sebagai peraturan pelaksana UU Kesehatan tersebut, terlihat jelas bahwa regulasi tersebut bermaksud mengadopsi secara ketat klausul-klausul Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention Tobacco Control (FCTC)

4. Problemnya ialah, jika kita dedah lebih jauh ternyata ketentuan-ketentuan dalam RPP Tembakau lebih bersifat melakukan eliminasi atau pemusnahan industri rokok nasional. Ini dapat dilihat dari ruang lingkup pengaturan RPP Tembakau yang begitu luas, yang tidak saja menyangkut pengaturan soal produksi melainkan juga perihal peredaran produk tembakau baik melalui pengaturan model kemasan atau pelabelan (peringatan kesehatan), periklanan (promosi), sponsorship maupun tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 

5. Selayaknya regulasi yang memiliki cakupan spektrum pengaturan yang begitu luas membutuhkan perangkat hukum yang lebih komprehensif dan berkedudukan lebih tinggi (baca: Undang-Undang) dan bukan sekadar peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Lebih jauh regulasi tersebut harus lahir dari proses legal drafting yang tidak saja melibatkan insitusi pemerintah dan parlemen, melainkan juga para stakeholder terkait (industri tembakau) dari berbagai lini dan kekuatan modal mereka.

6. Dalam konteks inilah, kami para pihak yang berkepentingan dengan keberlangsungan industri kretek yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) merasa kepentingan kami tidak terakomodasi dalam proses perumusan RPP Tembakau. Selama ini, berbagai input dalam perumusan RPP Tembakau tampak lebih merujuk kepada akomodasi berbagai kepentingan industri rokok besar (asing) daripada industri skala menengah-kecil.

7. Implikasinya, jelas bisa kita duga jauh-jauh hari, jika RPP Tembakau diabsahkan maka ratusan atau bahkan ribuan industri rokok rumahan pasti gulung tikar, dan efek simultannya langsung maupun tidak langsung akan menghepas stakeholder terkait lain: seperti sektor pertanian tembakau dan cengkih serta gelombang PHK massal buruh, baik itu pada tingkat hulu maupun hilir.

Diskriminasi Regulasi Menko Kesra RPP Tembakau
Salah satu aksi menolak RPP Tembakau di Yogyakarta. Foto: Jibiphoto|Desi Suryanto
8. Bagaimanapun, seluruh klausul RPP Tembakau jelas akan mematikan industri kretek, khususnya industri rokok rumahan, Pengaturan tentang proses produksi yang berlebihan sebagaimana diatur dalam Pasal 11—yakni larangan menambah bahan-bahan tambahan—jelas, pelarangan ini berpotensi meluas pada pelarangan penggunaan bahan-bahan lainnya yang notabene telah umum atau lazim digunakan dalam proses pembuatan produk tembakau, khususnya rokok kretek. Sebagaimana kita ketahui, rokok kretek mengandung ramuan tradisonal (saos, penambah rasa dan aroma) yang sudah sejak lama ada dan merupakan kekhasan dan keunikan produk rokok kretek bangsa kita.

9. Sebagai stokeholder pabrik rumahan kami setuju dengan adanya peringatan berupa tulisan, namun kami tidak setuju dengan peringatan berupa gambar sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2. Peringatan kesehatan berupa gambar pada produk tembakau bersifat over-excessive (over exaggeration), terkesan mengada-ada dan diskriminatif. Sejauh ini tidak ada bukti konkrit yang menyatakan dan menunjukkan bahwa peringatan bergambar dapat secara efektif menurunkan tingkat konsumsi rokok. Di samping itu, penggunaan gambar dapat merusak desain kemasan dan melanggar kebebasan berekspresi sebagai bagian nalar strategi marketing sebuah komoditas. Terlebih ketika dalam Pasal 16 ayat 2, besaran gambar mengambil porsi 40% sisi muka dan sisi belakang sebuah kemasan. 

10. Pengaturan soal kemasan dan pelabelan produk tembakau (Pasal 13 – 16) yang berupa tulisan dan gambar jelas akan membuat biaya produksi membengkak. Ditambah dengan adanya ketentuan beberapa varian gambar yang secara periodik harus selalu diganti, yakni 5 jenis gambar untuk setiap satu jenis produk, jelas akan semakin membebani dan menyulitkan biaya produksi kami selaku pengusaha menengah-kecil di sektor industri kretek. Selain itu, asumsi total jumlah produksi tidak lebih dari 24 juta batang pertahun untuk ketentuan pengenaan 2 jenis gambar, jelas sangat mempersempit kategorisasi yang diberikan terhadap eksistensi perusahaan kecil.   

11. Khususnya untuk Pasal 21 tentang perubahan redaksional peringatan kesehatan, “Tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”, kami tidak setuju dengan usulan klausul tersebut. Pencantuman pernyataan ini bersifat over-excessive (over exaggeration) mengingat bahwa pada kemasan rokok telah dicantumkan sederatan informasi lengkap yang meliputi: informasi mengenai kadar tar dan nikotin, peringatan kesehatan berupa tulisan, dan pernyataan larangan penjualan kepada anak-anak dan perempuan hamil. Dengan begitu kami menghendaki redaksional lama dalam teks peringatan kesehatan.

12. Terkait dengan promosi, sponsor dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), sebagaimana diatur dalam Pasal 34 – 36 jelas sangat bermaksud membatasi ruang gerak eksistensi industri tembakau, bahkan cenderung mendiskriminasi. Karena, umum kita ketahui, penggunaan nama perusahaan yang bergerak pada sektor industri kretek dan nama produknya (merek dagang) adalah dengan menggunakan satu nama yang sama. Dengan begitu pelarangan menggunakan nama produk (merek dagang) dalam kegiatan sponsorship dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), tentu menjadi sebuah pembatasan terhadap ruang gerak eksistensi perusahaan yang teramat diskriminatif.     

13. Untuk Pasal 48 – 49 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), menurut kami ada ketidakjelasan definisi tentang “tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan”. Selain frase ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena membuka keluasan atau kelenturan tafsiran, lebih jauh frase tersebut akan menyulitkan masyarakat maupun Pemerintah Daerah dalam menetapkan Kawasan Tanpa Rokok. 

14. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan uji materi Pasal 115 ayat (1) bagian penjelasan Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menghilangkan kata “dapat” sehingga menjadi “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok”, maka sudah seharusnya RPP Tembakau menyesuaikan diri dengan putusan MK tersebut. Adanya Ruang Merokok (smoking areas) harus menjadi bagian yang wajib ada dalam pengaturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sehingga, menurut kami, keberadaan Pasal 50—terkait ketentuan Pasal 49 huruf f dan g—masih bersifat tidak memberikan sebuah kepastian hukum yang jelas. Karena redaksional klausul Pasal 50 RPP Tembakau masih tetap tidak bersifat mewajibkan adanya Ruang Merokok sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

15. Dengan begitu pembatasan merokok di tempat umum harus ditetapkan lebih jelas dengan adanya “Kawasan Tanpa Rokok” dan “Kawasan Terbatas Merokok” sehingga peluang bagi perokok untuk merokok di tempat tertentu dapat terpenuhi tanpa mengganggu orang lain yang tidak merokok. Selain itu, merokok di udara terbuka seyogyanya diperbolehkan karena asap rokok akan secara natural terlarutkan dalam udara bebas sehingga tingkat pemaparan asap terhadap non perokok akan jauh lebih rendah.

16. Isu yang dihembuskan mengenai tembakau sebagai zat adiktif sebagaimana tertuang dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jelas berpengaruh pada tidak adanya supporting system pemerintah untuk memperkuat sektor industri tembakau, baik itu di tingkat hulu maupun hilir.

17. Sejalan maraknya gerakan anti-rokok global dan nasional yang telah mendapat justifikasi dan legitimasi hukum dalam peraturan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka isu skema kenaikan cukai tinggi menuju sistem cukai tarif tunggal (single tariff) pun menjadi model pembuatan regulasi atau kebijakan Pemerintah. Ambillah contoh regulasi di tingkat Kementerian seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 167/PMK.011/2011 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.4/2008, yang cenderung merampingkan banyak klaster dalam perusahaan-perusahaan rokok. Implikasinya berdampak pada terjadinya penurunan secara tajam jumlah perusahaan pengolahan tembakau, khususnya pabrik kecil atau rumahan. Dari data tahun 2008 tercatat ada 4.793 unit perusahaan, namun pada tahun 2009 jumlah tersebut turun menjadi 3.255 unit perusahaan (Salamuddin Daeng dkk., 2011).


*****

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top