1/22/15
0 komentar

"Mandar Nol Kilometer " Satu Sisi Rekam Jejak Budaya Bangsa

11:55 PM
"Mandar Nol Kilometer " Satu Sisi Rekam Jejak Budaya Bangsa
Sampul buku "Mandar Nol Kilometer _ Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini"
Mengunjungi tanah Mandar meninggalkan kekaguman tersendiri. Seperti ada magnet kuat yang membuatnya untuk dikaji ulang bahkan diperhatikan lebih dekat. Pada suatu sore saat berkunjung ke toko buku, ada Mandar Nol Kilometer di sana. Buku di rak itu bergegas berpindah tangan.

Sebuah bacaan budaya yang menarik adalah bacaan yang disajikan secara etnografi, sebuah kajian komprehensif dan detail mengkaji kebiasaan masyarakat yang mencatat secara detail budaya, adat-istiadat, bahasa, pola interaksi, serta hal paling terdalam dalam masyarakat, perasaan individu. Dan menurut saya, Mandar Nol Kilometer yang dituliskan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin ini mengisi kehausan kita mengenai rekam jejak budaya bangsa. Siapa lagi yang harus menuliskannya jika bukan anak bangsa sendiri?

Secara garis besar, buku ini terbagi atas tujuh bagian tulisan. Masing-masing bagian diberi tema tertentu oleh penulis. Mulai dari sejarah Mandar hingga budaya literasi yang digiatkan oleh anak Mandar. Pada bagian sejarah, kita tidak diajak langsung bertamasya ke Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, tapi ke sebuah kota bernama Tinambung. 

Selain tempat kelahiran penulisnya, Tinambung dulunya adalah sebuah kota dengan geliat pengetahuan yang tinggi. Dulunya, Tinambung bagian dari Kerajaan Balanipa. Kerajaan ini adalah “bapak” dari 14 kerajaan yang bersekutu yang ada di Mandar. “Ibu” dari kerajaan ini adalah Kerajaan Sendana di Majene.

Kampung Mandar, seperti halnya perkampungan Bugis, juga tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Kampung Mandar paling terkenal adalah Ujung Lero.

“Kampung orang Mandar yang paling terkenal adalah Ujung Lero di Kabupaten Pinrang, tak jauh dari kota Pare-pare. Wajar saja, letaknya hanya beberapa jam berlayar dari teluk Mandar,”
~hal.22, Mandar Nol Kilometer

***
Syair berjudul “Topole di Balitung” yang terinspirasi dari anumerta Tomatindo ri Balitung adalah salah satu syair yang menunjukkan bahwa kampung Mandar tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Orang Mandar suka berlayar, begitu yang disampaikan dalam bacaan ini. Mereka tersebar mulai dari wilayah terdekat dari tanah Mandar hingga menyebrangi Pulau Sulawesi. Banyak kampung Mandar tersebar di pulau-pulau Selat Makassar, Laut Jawa, serta Laut Flores.

Tanah Mandar juga terkenal dengan beragam kisah gaibnya. Penyebar Islam Tosalamaq Imam Lapeo, yang hingga kini masih bisa dijumpai makamnya di halaman Mesjid Nur Al-Taubah di Lapeo, memiliki kisah gaibnya tersendiri. Suatu ketika ia tengah berceramah pada murid-muridnya. Di tengah forum, ia lalu keluar ruangan dan melakukan gerakan dengan mengangkat tangan ke atas. Tak lama setelah itu, datanglah seorang tamu dari Bugis yang berterimakasih atas pertolongan Tosamaq Imam Lapeo. Tamu ini menceritakan pengalamannya diterjang ombak dan badai ganas di lautan lalu ditolong oleh Tosamaq Imam Lapeo.

Perkara tradisi pun menjadi hal yang penting di tanah Mandar. Posiq (pusar; pusat) memiliki posisi tersendiri dalam kebiasaan masyarakat. Jika membuat sesuatu, pastilah memiliki pusat. Bahkan jika mereka memiliki tradisi membuat mobil atau pesawat, pasti memiliki pusat. Istilah pusat pun juga berhubungan dengan perlakuan mereka ketika ada yang akan pergi melaut hingga hendak melaksanakan ibadah haji. Makna filosofis Posiq tak lain sebagai ritual yang menghubungkan manusia dan Tuhan dengan mengingatnya, mengingat bahwa padaNyalah harapan dari setiap usaha.

Budaya Mandar adalah apa yang ada di masa lalu, diyakini masyarakatnya, hingga terciptanya budaya baru sebab pertemuan budaya lain. Budaya kontemporernya juga bergeliat sering perkembangan zaman. Karya pemula menempati hati masyarakat. Saya jadi penasaran, bagaimana aroma film indie berjudul 45!!! karya anak Mandar.

***
Laskar Balanipa. Iya, itu sebutan bagi sepuluh bocah Mandar yang berhasil menyeberangi Sulawesi menuju pusat ibu kota, Jakarta. Mereka pentas di Gedung Kesenian Jakarta, tempat seniman sekelas Arifin C. Noer, Harry Roesli, Putu Wijaya, serta berbagai pertunjukan kelas internasional telah tersaji di sini. Dan sepuluh bocah ini berhasil membuat penulis buku merinding serta menangis harus ketika rempak rebana dan lantunan shalawat dipentaskan oleh mereka. Dengan mengenakan passappu dari sutra sure’ salaka, anak-anak ini memainkan Rawanau (rebanaku).

Mandar lampau dan hari ini memang memiliki perbedaan. Perubahan waktu membuat setiap hal di tanah Mandar berubah. Agar nilai kearifan yang tertanam dalam diri masyarakat bisa diwariskan kepada generasi mendatang, pelestarian budaya harus tetap berlangsung. 

Namun Mandar, seperti pula beragam budaya di nusantara, mereka harus bertahan dari terpaan badai modernitas. Anak muda Mandar harus bekerja ekstra keras. Mereka punya hak untuk lahir di masa depan dengan menyaksikan sendiri ragam budaya serta adat tanah kelahiran mereka. Membaca Mandar dari lampau hingga kini, membuat kita butuh perenungan. Semoga kelak generasi Mandar yang akan lahir adalah generasi yang mencintai sejarahnya serta merawat ingatannya.


Selamat membaca Mandar Nol Kilometer. (NF)
Rincian Buku:
Judul Buku : Mandar Nol Kilometer, Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini
Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit : Ombak
Tahun : 2011
ISBN 10 : 6028335746
ISBN 13 : 978-6028335744
Hal : 333


Sumber:
*Tulisan ini pernah terbit di Perpustakaan Sawerigading dan ditulis kembali untuk diterbitkan oleh Sempugi.org dan untuk kepentingan menyebarkan resensi tentang buku tersebut, maka tulisan ini kami posting kembali.

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top