DINAMIKA kebudayaan di Yogya, akhir-akhir ini sangat menggairahkan. Berbagai macam acara kesenian diselenggarakan. Bahkan mengambil ruang-ruang terbuka untuk acara-acara kebudayaan. Akhir-akhir ini, atau setidaknya 5 tahun belakangan ini, di Yogya ada banyak lembaga yang bergerak dibidang kebudayaan, dengan mengambil spesifikasi yang berbeda-beda. Lembaga kebudayaan ini pun, meski sifatnya kecil, tetapi memiliki fasilitas, dan tidak dimiliki oleh lembaga kebudayaan yang tumbuh tahun 1980-an, atau bahkan sebelumnya.
Wajah depan Taman Budaya Yogyakarta. |
Hampir setiap minggu, di Yogya ada pembukaan pameran, yang diselenggarakan beberapa hari, bahkan bisa lebih dari satu minggu, ini artinya setiap hari di Yogya, di galeri yang berbeda ada pameran seni rupa. Selain itu, di ruang pertunjukkan di Yogya, ada pertunjukkan lain, misalnya pentas musik, pementasan teater, pembacaan puisi, termasuk di ruang-ruang terbuka, atau di cafe-cafe. Pendek kata, pertunjukkan kesenian di Yogya mengambil ruang-ruang, yang dulu jarang sekali—atau bahkan tidak pernah—digunakan, seperti cafe atau membuat panggung di sungai.
Kecuali, kegiatan seminar, dengan berbagai macam tema kerap ditemukan di ruang-ruang seminar, baik ruang seminar di kampus, di lembaga-lembaga kebudayaan maupun di ruang-ruang seminar lainnya.Yang agak berbeda dari kegiatan kesenian, tetapi memberi warna terhadap kebudayaan adalah tempat-tempat kuliner. Di Yogya, sekarang ini mudah sekali ditemukan tempat-tempat kuliner, yang ditandai sebagai wisata kuliner.
Dalam konteks ini, saya akan mencoba melihat peran lembaga kebudayaan, terutama milik pemerintah, dalam merespon dinamika kebudayaan. Dalam periode yang berbeda, dinamika kebudayaan berada dalam masa transisi. Pada periode tahun 1970, masa transisi saat pergantian orde lama ke orde baru. Pada akhir 1990-an, masa transisi saat era reformasi. Pada masa transisi ini, gairah kesenian di Yogyakarta lebih banyak inisiatif dari seniman atau pekerja seni. Sementara kekuasaan sedang mencari pola untuk memantapkan ‘jalannya’.
Pada dua masa transisi yang berbeda, dinamika kebudayaan, atau secara lebih khusus dinamika kesenian, mempunyai karakter yang berbeda. Pada masa transisi pertama, gairah modernitas mewarnai gairah kebudayaan. Pada masa transasi kedua, gairah paska moderitas, atau gairah kontemporer mempengaruhi cara-cara berkesenian dan berkebudayaan.
Dalam konteks ini, sejenak, saya akan menengok kebelakang, sekadar untuk membuka ingatan mengenai aktivitas kesenian pada dua masa transisi yang berbeda. Hanya beberapa kegiatan ksenian disebutkan sekedar untuk memberikan contoh.
Gairah Kebudayaan di Masa Lalu: Catatan dalam Ingatan
Supaya jaraknya tidak terlalu lama, dan setidaknya saya mengalami, saya akan melihat dinamika kebudayaan di Yogya sejak tahun 1970-an, atau setidaknya pertengahan tahun 1970-an. Artinya, sejak orde baru mulai berkuasa. Ini artinya, rentang kurang lebih 30-an tahun yang lalu, hingga akhir-akhir ini, saya mencoba untuk melihatnya.
Pada tahun 1970-an, belum banyak lembaga kebudayaan yang ada di Yogya, berikut ruang untuk menyelenggarakan satu pertunjukkan kesenian. Saya pernah melihat, bahkan pertama kali saya melihat pertunjukkan teater di Pendapa Sanabudaya, Alun-alun utara, kalau tidak salah ingat tahun 1975, pentas dari teater Stemka dengan lakon ‘Penyakit Sakit’ yang disutradarai Landung Simatupang. Di tempat yang sama, pada tahun 1974, saya untuk pertama kali melihat pameran seni lukis batik karya Koeswadji Kawindrasusanta. Di tempat yang sama pula, tahunnya berbeda, kalau tidak salah ingat tahun 1977, saya melihat tiga penyair Yogya baca puisi, yakni Emha Ainun Nadjib, (alm) Linus Suryadi AG dan (alm) Ragil Suwarno Pragolapati, dengan pembahas Bakdi Sumanto.
Selain Pendapa Sanabudaya, Alun-alun Utara, seringkali saya melihat pertunjukkan teater di Senisono, misalnya lakon “Darmo-Darmi’ dari Bengkel Muda Surabaya. serta sejumlah pertujukkan teater dan sastra lainnya, misalnya baca puisi atau pameran lukisan. Pendek kata, sebelum banyak ruang-ruang budaya di Yogya Sanabudaya dan Senisono menjadi pilihan untuk acara kesenian dan kebudayaan.
Kecuali itu, ada Karta Pustaka di jalan Jendral Sudirman, yang rajin menyelenggarakan kegiatan kebudayaan: pameran seni rupa, pertunjukkan sastra, seminar, pentas musik klasik dan lainnya. Pendek kata, ketika fasilitas ruang belum banyak, tetapi kegiatan kesenian dan kebudayaan tidak pernah berhenti di Yogyakarta.
Setidaknya, sebelum Taman Budaya Yogyakarta terbentuk dan mengambil tempat di kawasan Bulaksumur UGM, aktivitas kebudayaan di Yogya (sudah termasuk) dinamis. Bahkan, ‘dikenal’ tiga poros kebudayaan pada waktu itu, ialah Gampingan-Malioboro-Kampus. Atau kalau ditunjuk dengan identitas lain: ASRI-UGM-PSK (Persada Studi Klub), asuhan penyair Umbu Landu Paranggi.
Yang akan saya katakan, antara tahun 1970-1980, kegiatan berkesenian di Yogya cukup bergairah, meski pemerintah, secara khusus belum (atau tidak) memperhatikan kebudayaan. Inisiatif seniman, tentu saja termasuk ketoprak tobong, mengisi gairah kesenian dan kebudayaan di Yogyakarta.
Tetapi bukan berarti tidak ada lembaga kebudayaan di Yogya, atau setidaknya satu lembaga yang khusus bergerak dibidang kebudayaan dan seni. Karena, sebelum tahun 1970, ada ‘Sanggarbambu’, yang dibentuk 1 April 1959. Ada Yayasan Kebudayaan Indonesia-Belanda ‘Karta Pustaka’, yang didirikan tahun 1968. Lembaga-lembaga tersebut ‘ikut’ mengisi’ gairah kesenian dan kebudayaan di Yogya. Tentu saja, selain dua lembaga itu, ada kelompok-kelompok teater, yang pada masa itu tidak (di) kenal(i) sebagai lembaga, namun hanya disebut sebagai group atau kelompok teater. Selain Bengkel Teater, ada teater Alam, teater Dinasti dan sejumlah teater lainnya.
Dalam kata lain, aktivitas kesenian dan kebudayaan di Yogya, lebih banyak diprakarsasi individu-individu seniman, atau sanggar-sanggar, atau kelompok-kelompok teater.
PSK (Pusat Studi Kebudayaan) UGM pimpinan (alm) Umar Kayam memberikan warna yang kental terhadap dinamika kebudayan di Yogya. Bahkan bisa dikatakan, PSK UGM memberikan atmosfir kreatif pada para seniman di Yogyakarta.
Gairah berkesenian, sebut saja begitu, pada masa 30 tahun yang lalu, lebih disebabkan dari inisiatif seniman, atau para pekerja seni. Meski mereka, para pekerja seni, tahu, bahwa rezim orde baru sulit dalam hal memberikan ijin acara kesenian dan kebudayaan. Proses ijinnya panjang dan berbelit, namun tidak membuat pekerja seni surut semangatnya.
Pada masa itu, kita tahu, bahwa kekuasaan tidak memberikan ruang yang lebar terhadap pertumbuhan kebudayaan. Namun para seniman, tetap terus berkarya dan memberi nafas dinamika kebudayaan di Yogya.
Pada akhir tahun 1990-an, gairah kebudayaan telah mengalami perkembangan yang jauh lebih maju dibanding 30 tahun sebelumnya. Berbagai macam kreasi seni, ada yang ditandai sebagai kotemporer, posmodern dan sejenisnya hadir dimasa transisi pada era reformasi. Seolah karya-karya seni meruapakan representasi dari reformasi. Orang menyebutnya sebagai euforua reformasi. Hampir semua orang ngomong tentang apa saja, seperti halnya seniman bisa menandai apa saja yang ‘dihasilkan’ sebagai karya seni. Para seniman dan pekerja budaya, berinisiatif menyelenggarakan kegiatan kesenian dan kebudayaan, apalagi ijin pertunjukkan, pada awal reformasi tidak berbelit seperti sebelumnya. Bahkan tidak lagi pakai perijinan. Meski sekarang sudah kembali menggunakan ijin, walau tidak terlalu birokratis seperti 30 tahun yang lalu.
Meski reformasi ditandai telah kehilangan ‘jalannya; dan entah sekarang menuju kemana, dimanika kebudayaan di Yogya tidak surut. Artinya tidak terpengaruh pada langkah reformasi yang berbelok. Bahkan, kegiatan kebudayaan, atau lebih khusus kesenian, tidak lagi mengambil tempat di pusat-pusat kebudayaan, melainkan menyebar dibanyak tempat, termasuk di ruang-ruang pertunjukkan milik personal seniman, yang memiliki ruang publik.
Dalam kata lain, gairah dan dinamika kebudayaan di Yogya ditopang oleh inisiatif para pekerja seni itu sendiri.
Bersambung ke ; Lembaga Kebudayaan dan Dinamika Kebudayaan (Bag. II)
Sumber : Indonesia Art News
Ons Untoro, pekerja budaya, dan bekerja di Tembi Rumah Budaya.
*** Catatan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam FGD (Focus Group Discussion) “Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)” yang dihelat oleh majalah Mata Jendela, dan berlangsung di Ruang Seminar TBY, 9 April 2011.
0 komentar:
Post a Comment