8/21/13
0 komentar

Lembaga Kebudayaan dan Dinamika Kebudayaan (Bag.II)

1:39 AM
Lembaga Kebudayaan Pemerintah

Seperti kita tahu, selain mengenal sejumlah lembaga kebudayaan dengan beragam nama dan pilihan jenis kegiatan yang berbeda, sudah sejak lama, di Yogyakarta, bahkan di Indonesia, kita mengenal lembaga kebudayaan ‘milik’ pemerintah, yang disebut Taman Budaya. Beberapa propinsi di Indonesia didirikan Taman Budaya. Di Yogyakarta kita mengenal Taman Budaya Yogyakarta, yang sejak kelahirannya 33 tahun yang lalu, memiliki banyak kegiatan kebudayaan. Setelah Senisono tidak lagi bisa dipakai untuk kegiatan kesenian dan kebudayaan, gedung Purna Budaya, Taman Budaya, di kompleks Bulaksumur UGM, menjadi pilihan untuk melakukan kegiatan. 

Taman Budaya Yogyakarta.
Tahun 1980-an, pertunjukkan teater lebih banyak diselenggarakan di Purna Budaya. Karena memang Taman Budaya memiliki ruang untuk pentas. Namun rupanya, pada era ini bukan hanya persoalan ruang yang diperlukan sebuah lembaga kebudayaan. Sebab ruang, pada akhirnya, bisa mengambil tempat di mana saja. Seperti kita bisa melihat pertunjuukan kesenian di perempatan jalan, di sungai dan ruang-ruang lain yang tidak lazim sebagai tempat pertunjukkan. 

Dalam perkembangan kebudayaan sekarang ini, yang namanya lembaga kebudayaan, tidak lagi (hanya) mengandalkan kekuasaan. Karena kekuasaan tidak lagi dipahami secara tradisional, yakni sebagai ‘hak milik’. Bahwa kekuasaan melekat dalam diri pemegangnya dan tidak bisa berpindah kecuali diwariskan. Kesadaran sekarang, kekuasaan berada dimana-mana dan dalam bentuk yang tidak tunggal. Maka, jejaring menjadi pilihan dari lembaga kebudayaan.

Dinamika kebudayaan hanya bisa direspon dengan berjejaring. Tidak bisa lagi mengandalkan ‘sabda’ dari penguasa, laiknya kekuasaan dalam hirarki birokrasi. Pemerintah sebagai hirarki dari Taman Budaya, tidak lagi perlu ‘menguasai’ sepenuhnya dan ‘mengendalikan’ Taman Budaya ‘sesuai’ kehendaknya. Karena, dinamika kebudayaan akan terus melaju dan hanya bisa direspon dengan cara ikut berubah sesuai arah-arah yang baru. Apa yang dikatakan Herry Priyono dalam menelaah Giddens, saya kira bisa kita renungkan bersama. Mari kita simak apa yang dia katakan:

“Apa yang menjadi masalah utama bukanlah mengurangi atau menambah peran pemerintah, melainkan bagaimana tata pemerintahan terus menerus diperbaharui seturut kondisi-kondisi baru…, dan otoritas, termasuk legitimasi Negara, harus terus menerus diperbaharui secara aktif” (Anthony Giddens, Suatu Pengantar, hal. 71)

Yang sering terlihat lembaga kebudayaan ‘tergagap’ merespon ‘gerak’ dinamika kebudayaan yang demikian cepat, adalah birokrasi lembaga itu sendiri. Bukan hanya lembaga kebudayaan ‘milik’ pemerintah, melainkan lembaga kebudayaan yang dikelola secara swasta, atau milik komunitas, atau juga ‘milik’ yayasan, dan masih tradisional dalam memahami kekuasaan, tergopoh-gopoh dalam merespon dinamika kebudayaan. Padahal, respon yang sifatnya spontan dan secara substansial memberi makna pada lembaga dan bermanfaat untuk dinamika kebudayaan, mestinya tidak perlu dibenturkan pada persoalan teknis birokrasi. Misalnya, untuk melakukan audiensi dengan tokoh yang telah memiliki legitimasi politik dan kultural, atas pimpinan lembaga bersangkutan, tidak perlu ‘dihentikan’ hanya karena, audensi tidak ‘minta’ ijin pada atasannya. Lebih parah lagi, ada anggapan, yang berhak audensi adalah atasan, pimpinan lembaga kebudayaan hanyalah pelaksana teknis. Ini contoh kecil,, bagaimana dinamika kebudayaan disikapi secara tradisional.

Saya kira, di tengah gairah dinamika kebudayaan yang tidak bisa dihalangi ‘geraknya’,lembaga kebudayaan mestinya perlu mengambil posisi yang tepat, tanpa harus mengabaikan tujuan lembaga bersangkutan. Menjauhkan diri dari klaim, masuk pada jejaring dan terbuka terhadap pikiran-pikiran segar, yang terkadang kedengaran aneh dari segi normatif, tetapi memberikan nilai inovasi.

Setelah Taman Budaya Yogyakarta tidak lagi bertempat dikawasan kampus UGM dan mendapatkan tempat di tengah kota Yogyakarta. Letaknya yang sangat strategis membuat mudah sekali diakses. Berbagai macam aktivitas kebudayaan, sangat sering diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta, yang dikenal dengan singkatan TBY.

Namun, meski tempatnya strategis, bukan berarti fasilitas yang dimiliki sudah memenuhi standar. Karena, pertunjukkan yang diselenggarakan ditempat ini masih sering menambah lampu dan sound system dari luar. Karena itu, pada langkah berikutnya, untuk lebih memantap gairah kebudayaan, kiranya TBY perlu melengkapi fasilitas yang dibutuhkan relasinya, sehingga tidak perlu menyewa dari luar.

Dalam perubahan arah baru, setidaknya seperti disebutkan Herry Priyono, saya kira, Taman Budaya Yogyakarta, sebagai salah satu lembaga ‘milik’ pemerintah, dan memiliki fasilitas untuk mengakomodasi gairah kebudayaan, tidak perlu menampilkan diri secara birokratis. Secara administratif memang perlu tertib, tetapi yang berkaitan dengan gaiarah  kebudayaan, tidak perlu dibenturkan pada teknis administrasi. Pimpinan lembaga kebudayaan, harus diberi ruang yang luas untuk masuk dalam jejaring, dan memberi kebebasan untuk mensuport gairah kebudayaan agar semakin menghangat. Hanya saja, yang berkaitan dengan teknis adimistrasi memang tidak bisa meninggalkan prosesdur. Namun bukan berarti, mengatasnamakan prosedur, gairah kebudayaan yang dinamis dihentikan.

Atau juga, bisa membagi diri dalam dua ranah yang masing-masing mengambil konsentrasi berlainan, setidaknya seperti usaha pers yang bisa membedakan antara kepentingan redaksional dan kepentingan bisnis. Redaksional memfokuskan diri pada content. Dan bisnis lebih pada akumulasi modal yang sekaligus ‘menjual’ content. Keduanya tidak tumpang tindih, justru saling mengisi. Taman Budaya mestinya bisa membedakan antara langgam birokrasi dan dinamaika content yang selalu berkaitan dengan gairah kebudayaan.

Dengan demikian hirarki yang membawahi Taman Budaya, saya kira perlu semakin terbuka terhadap pikiran-pikiran inovatif, yang terkadang susuah untuk dimengerti. Dengan cara ‘meleburkan’ diri kedalam dinamika kebudayaan, saya rasa, lembaga kebudayaan, termasuk Taman Budaya, akan bisa memilih atau mengambil tempat ditengah arus kebudayaan yang (terus) berubah.

Memahami Taman Budaya bukan (lagi) ‘milik’ pemerintah, melaikan telah menjadi ‘milik’ publik yang difasilitasi pemerintah, saya kira akan memberi makna lain pada Taman Budaya.


Sumber  : Indonesia Art News
Ons Untoro, pekerja budaya, dan bekerja di Tembi Rumah Budaya.
*** Catatan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam FGD (Focus Group Discussion) “Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)”  yang dihelat oleh majalah Mata Jendela, dan berlangsung di Ruang Seminar TBY, 9 April 2011.

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top