Poster film Soekarno. Foto: republika.co.id |
Rachmawati Soekarnoputri, putri Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno, menggugat sutradara Hanung Bramantyo senilai Rp 1. Hanung dinilai telah merusak karakter Soekarno dalam film yang mengkisahkan prolakmator kemerdekaan RI yang disutradarainya itu.
Rachma juga menggugat PT Tripar Multivision Plus dan Ram Punjabi karena film yang berjudul “Bung Karno: Indonesia Merdeka” yang dibuat para tergugat itu tak sesuai dengan naskah asli yang digugat Rachma.
Gugatan ini dilayangkan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (10/12) lalu. Uniknya, Pengadilan Niaga langsung menerbitkan surat penetapan sementara penyitaan master film dan melarang melanjutkan pemutaran film itu di bioskop.
“Penetapan sementara itu tak di dalam sidang. Para pihak hanya diminta hakim datang ke ruangannya, terus ya dikeluarkan hari itu juga,” ujar Kuasa Hukum Rachma, Turman M Panggabean dikutip hukumonline, Jumat (13/12).
Dalam gugatanya, Rachma menilai ada ketidaksesuaian antara adegan di dalam film dengan kenyataan. Salah satunya adalah adegan seorang polisi militer menampar Soekarno hingga ia jatuh terduduk di lantai. “Adegan itu di luar dari sejarah. Datanya dapat darimana?” tanya Turman.
Kesalahan ini dianggap krusial. Pasalnya, tujuan diproduksinya film ini adalah agar masyarakat mengetahui karakter Soekarno. Apabila ada kesalahan dalam produksinya, Rachma menilai hal ini dapat merusak citra bangsa Indonesia terutama karakter Soekarno yang tidak sesuai dengan naskah sesungguhnya, yaitu naskah yang dibuat oleh Rachma.
Selain itu, Rachma juga tidak menyetujui aktor Aryo Bimo sebagai pemeran tokoh Soekarno. Aryo Bimo dinilai kurang dapat menjiwai karakter tokoh proklamator Indonesia ini. Rahma mengaku sempat berbincang dengan Aryo Bimo dan menanyakan rasa nasionalisme yang dimilikinya. Apakah nasionalisme kuat atau tidak?
Rachma mendapatkan jawaban Aryo bahwa aktor ini kurang mengenal sosok Soekarno dan kurang mendalami rasa nasionalisme. Lagipula, Aryo pernah menetap di luar negeri selama 11 tahun.
Namun, Multivision dan Hanung tetap menggunakan Aryo sebagai pelakon utama tanpa sepengetahuan Rachma. Padahal, para tergugat telah sepakat untuk tidak menggunakan Aryo Bimo saat Rachma tidak menyetujuinya dan melanjutkan syuting film tanpa sepengetahuan Rachma.
“Kita meminta film tersebut dihentikan agar masyarakat tidak tersesat dengan pengenalan karakter Soekarno,” lanjut Turman.
Turman menjelaskan kemarahan Rachma cukup berdasar. Sebagai seorang pencipta dan pemegang hak cipta atas naskah Soekarno tersebut, Rachma telah meminta Hanung untuk mengoreksi script yang dibuat Ben Sihombing bersama Hanung tersebut sejak 2011 lalu. Namun, tak digubris. Hingga akhirnya, Rachma memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan Hanung pada 8 Juni 2013.
Lebih lanjut, Turman menjelaskan Rachma adalah pencipta dari naskah Soekarno tersebut. Rachma mengklaim dirinyalah orang pertama yang mengumumkan tentang cerita Soekarno. Cerita Soekarno pertama kali dipentaskan pada 2011 dan 2012 di Taman Ismail Marzuki. Pagelaran berlangsung sukses dan dibanjiri penonon.
Hingga akhirnya, Hanung dan Rachma bertemu di Universitas Bung Karno untuk mem-film-kan naskah itu. Namun, di tengah jalan, hubungan kerja berjalan tidak baik dan Rachma memilih mundur dan meminta Hanung untuk tidak melanjutkan film ini.
Rachma menggunakan Pasal 56 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai dasar hukum dalam gugatannya. Ia menyatakang Hanung dan para tergugat lainnya telah melanggar hak cipta yang dimilikinya. Karenanya, ia meminta ganti rugi kepada para tergugat akibat perbuatan itu.
Bila dikalkulasikan baik secara material dan immaterial, lanjut Turman, Rachma mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Namun, dalam gugatannya, Rachma hanya meminta Hanung untuk membayar ganti rugi senilai Rp1.
“Gugatan ini tujuannya adalah untuk mempertahankan nilai – nilai sejarah yang tidak dapat dinilai dengan uang. Untuk itu, kita hanya minta ganti rugi senilai Rp1,” pungkasnya.
Sementara itu, upaya hukumonline untuk menghubungi dan meminta komentar pihak Multivision melalui kuasa hukumnya David Abraham belum membuahkan hasil.
Sumber: Hukumonline.com
0 komentar:
Post a Comment