Monumen Juang Tragedi Pembantaian Mandor. |
Peristiwa Mandor adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenang dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu telah terjadi pembantaian massal tanpa batas etnis dan ras oleh tentara Jepang dengan samurai.
Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor pada 28 Juni Sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui paripurna DPRD Kalimantan Barat merupakan bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.
Peristiwa Mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor, Kabupaten Landak.
Sewaktu itu, pihak Jepang sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat dan Selatan ada komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Cina, dan para pejabat. Sehingga komplotan-komplotan tersebut dihancurkan dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944.
Monumen Juang Tragedi Pembantaian Mandor. |
Menurut sejarah, dibawah pimpinan Letnan Jenderal Tadashige Daigo membantai 50.000 putra putri terbaik, para Raja, Cendikiawan, dan Tokoh2 Masyarakat. Mereka dipancung dan dimasukkan ke dalam satu lubang sehingga menyerupai bukit kematian.
Versi lain mencatat hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun Jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja.
Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa Mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para gerakan perlawanan saat itu. Karena ketika itu, Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat.
Sebelum terjadi peristiwa Mandor terjadilah peristiwa Cap Kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin di kalimantan Barat ada perlawanan. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal (masyarakat bangsawan atau yan g dikuasai bangsawan), namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang. Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu.
Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu.
Relief Peristiwa Mandor. |
Diperkirakan korban peristiwa tersebut sebanyak 21.037 jiwa dengan target sebanyak 50.000 jiwa, berdasarkan pengakuan Kiyotada Takahashi seorang turis Jepang yang berkunjung ke Kalbar 21-22 Maret 1977. Ia merupakan mantan opsir Syuutizityo Minseibu yang pernah tinggal di Jalan Zainuddin Pontianak yang saat berkunjung tersebut Takahashi berprofesi sebagai Presiden Direktur perusahaan Marutaka House Kogyo Co Ltd.
Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator).
28/6 - HARI BERKABUNG DAERAH. Dua warga melihat sejumlah foto korban pembantaian Tentara Jepang di Makam 10 Pemakaman Juang Mandor, Kabupaten Landak. Foto: ANTARA/Jessica Wuysang |
Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan korban yang mati secara tragis karena diculik dari rumah mereka kemudian dibantai oleh tentara jepang dilokasi yang sekarang ditandai dengan dibangun sebuah monument yang dihiasi relief-relief untuk menggambarkan bagaimana proses penculikan sampai pembantaian terjadi.
Banyaknya korban dan kekejaman tiada tara dikemudian hari dapat disaksikan melalui tulang-belulang yang berserakan dilokasi tersebut, tengkorak-tengkorak kepala yang terlepas dari raganya dapat melukiskan bagaimana nyawa-nyawa mereka berakhir diujung samurai. Bahkan saking banyaknya korban yang harus dieksekusi, dilokasi tersebut beberapa saat yang lalu sering ditemukan patahan-patahan samurai.
Raja Tayan, Salah Satu Korban Tragedi Mandor. |
Pada dasarnya bahwa tentara pendudukan jepang sengaja melakukan tindakan-tindakan biadap tersebut guna memberangus dan mematahkan semangat dan perlawanan masyarakat Kalimantan barat terhadap jepang. Penangkapan dilakukan dalam beberapa tahap, Pada awal pendudukan Jepang, tulis Iseki, keadaan di Kota Pontianak dan masyarakatnya sangat damai. Tidak ada gerakan anti-Jepang. Tapi pada Juli 1943, terbongkar komplotan melawan Jepang di Banjarmasin.
Otaknya adalah BJ Haga bekas Gubernur Belanda di Borneo. Tentara Jepang tak memberi ampun. Haga dan 800 orang yang dituduh terlibat gerakan itu dihabisi oleh Administrator Kaigun, Iwao Sasuga.
Rupanya, berdasarkan informasi dari para informan Jepang, kelompok Banjarmasin itu telah menjalin hubungan dengan para aktifis di Pontianak. Tentu informasi dari Amir, seorang informan di Tokkei ini, membuat pihak Jepang marah. Menurut Amir, Manajer Asahikan sebuah bioskop di Pontianak Ahmad Maidin, malah telah menyebarkan berita fitnah yang meresahkan. Misalnya, kota Surabaya dibom dan pasukan Jepang kalah perang terus. Kabar itu tersebar pada Juli-Agustus 1943.
Pada akhir Januari 1944 terjadi lagi penangkapan tahap II. Sekitar 120 orang yang ditangkap, antara lain tokoh-tokoh Singkawang. Sedangkan penangkapan tahap III terjadi pada Februari 1944, menimpa para ambtnaar dan kaum intelektual pada zamannya. Pada 28 Juni 1944 itulah saat yang menyeramkan warga Pontianak.
Makam juang Tragedi Mandor, di daerah Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. |
Sumber: Dream Indonesia | Wikipedia Indonesia
0 komentar:
Post a Comment