1/29/14
0 komentar

Marah itu Sehat, Asal Waktu dan Tempat yang Tepat

11:16 AM
Hadapi dengan senyuman
Polisi baik hadapi warga yang marah dengan senyuman.
Mengelola amarah itu bak mual, mabuk terus muntah, perasaan kita akan lega. Kita tak dapat mengabaikan atau mencegah sesuatu atau orang lain yang memicu amarah kita, atau mengubah mereka, tapi kita dapat belajar mengendalikan pengungkapan amarah kita. Pepatah bilang, kepala boleh panas tapi hati tetap dingin.

Bila diungkapkan pada waktu, cara dan pada orang yang tepat, amarah sangatlah menyehatkan.

Kemampuan kita mengendalikan amarah akan bermuara pada emotional quotient (kematangan emosional) mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, kemampuan menyemangati diri dan dan bertahan menghadapi keputusasaan, sanggup mengendalikan emosi, mengatur suasana hati dan amarah, serta kemampuan menyelesaikan konflik. Asyik kan?

Ada sejumlah uji psikologi yang bisa mengukur seberapa hebat amarah kita, bagaimana kecenderungan kita menjadi pemarah, dan seberapa baik kita mengendalikannya. Antara lain dikenal sebagai pendekatan cognitive behavior (memahami perilaku) dalam psikoterapi.

Sebagian orang cenderung lebih mudah marah dan lebih hebat marahnya daripada kebanyakan orang. Ada yang tak menunjukkan kemarahan dengan suara menggelegar tapi terus-menerus bersikap galak. Yang mudah marah pun tak selalu mengutuk atau melempar barang, kadang-kadang malah menarik diri dari pergaulan, merajuk, atau rentan sakit – biasanya pusing, sakit kepala, vertigo. Mereka umumnya cenderung mudah putus asa, resah dan jengkel. Cenderung membesar-besarkan hal kecil, mereka akan marah sekali bila ada keadaan yang dianggap tak adil, misalnya ditegur untuk kekeliruan kecil.

Mengapa mereka jadi begitu? Ada beberapa faktor. Pertama, genetik. Ada bukti bahwa sejumlah anak memang dilahirkan mudah marah, cepat tersinggung dan tanda-tanda ini sudah jelas terlihat sejak mereka masih sangat belia. Faktor sosial budaya juga pegang peran. Kita diajarkan untuk boleh menunjukkan keinginan, kegelisahan, depresi atau emosi lain, tapi tidak untuk amarah, dengan alasan sopan-santun, harga diri, atau menjaga hubungan baik (dengan salah satu pihak harus “mengalah untuk menang”).

Jadi, kita tak terlatih untuk menangani amarah atau menyalurkannya secara terencana. Penelitian menemukan, latar belakang keluarga ikut berpengaruh. Biasanya, orang yang mudah marah datang dari keluarga berantakan, kacau-balau dan tak punya kemampuan berkomunikasi secara emosional.



Sumber: NGI | Christantiowati

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top