Tahun 2012 menorehkan sejarah baru bagi gerakan buruh. Gerakan buruh unjuk kekuatan melalui mobilisasi, blokade dan aksi mogok. Puncaknya, pada tanggal 3 Oktober 2012, dua jutaan buruh berpartisipasi dalam aksi “Mogok Nasional” di 21 kabupaten/kota di Indonesia.
Lantas, seperti biasanya, pihak yang terganggu kepentingannya, yaitu pengusaha, akan paranoid dengan aksi itu. Mereka kemudian menuding gerakan buruh telah dipolitisasi. Penjaga kepentingan pengusaha, yakni pemerintah dan DPR, juga angkat bicara. Mereka menghakimi aksi buruh itu sebagai penyebab memburuknya iklim investasi.
Sementara dua pengamat intelijen, yakni Wawan Purwanto dan Mardigu Wawiek Prabowo, menyimpulkan bahwa gerakan buruh telah ditunggangi oleh kelompok politik tertentu. “Ini sudah keterlaluan. Saya menilai ini sudah setelan elit atau kelompok politik tertentu. Kenaikan gaji sudah 40 sampai 70 persen, kok masih terus menuntut,” kata pengamat intelijen itu.
Pertanyaannya, bisakah kaum buruh mengubah nasib tanpa gerakan politik? Tidak bisa, kata Bung Karno. Sebab, menurutnya, tanpa menghancurkan kapitalisme, kaum buruh tidak bisa memperbaiki hidupnya 100%. “Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela,” ujarnya.
Bung Karno jelas menolak mimpi “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”. Maksudnya, tak mungkin kaum buruh bisa menikmati kesejahteraan di bawah sistem yang menghisap. Bung Karno menganggap mimpi semacam itu sangat mustahil.
Sebagai seorang marxis, Bung Karno sadar, antara “modal” dan “tenaga kerja’ tidak bisa didamaikan. “Ini pertentangan yang tidak bisa dihapus,” ujarnya. Bahkan, professor-professor botak dan sekolah-sekolah tinggi pun tak akan sanggup menghapusnya,” tambahnya.
Lantas, seperti biasanya, pihak yang terganggu kepentingannya, yaitu pengusaha, akan paranoid dengan aksi itu. Mereka kemudian menuding gerakan buruh telah dipolitisasi. Penjaga kepentingan pengusaha, yakni pemerintah dan DPR, juga angkat bicara. Mereka menghakimi aksi buruh itu sebagai penyebab memburuknya iklim investasi.
Sementara dua pengamat intelijen, yakni Wawan Purwanto dan Mardigu Wawiek Prabowo, menyimpulkan bahwa gerakan buruh telah ditunggangi oleh kelompok politik tertentu. “Ini sudah keterlaluan. Saya menilai ini sudah setelan elit atau kelompok politik tertentu. Kenaikan gaji sudah 40 sampai 70 persen, kok masih terus menuntut,” kata pengamat intelijen itu.
Pertanyaannya, bisakah kaum buruh mengubah nasib tanpa gerakan politik? Tidak bisa, kata Bung Karno. Sebab, menurutnya, tanpa menghancurkan kapitalisme, kaum buruh tidak bisa memperbaiki hidupnya 100%. “Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela,” ujarnya.
Bung Karno jelas menolak mimpi “hangat-hangat bersarang di dalam kapitalisme”. Maksudnya, tak mungkin kaum buruh bisa menikmati kesejahteraan di bawah sistem yang menghisap. Bung Karno menganggap mimpi semacam itu sangat mustahil.
Sebagai seorang marxis, Bung Karno sadar, antara “modal” dan “tenaga kerja’ tidak bisa didamaikan. “Ini pertentangan yang tidak bisa dihapus,” ujarnya. Bahkan, professor-professor botak dan sekolah-sekolah tinggi pun tak akan sanggup menghapusnya,” tambahnya.
Tetapi, kecenderungan inheren kapital untuk meningkat adalah dengan mengeksploitasi tenaga kerja. Dampakanya: tingkah upah jatuh, tapi jam kerja meningkat. Maka, perjuangan pekerja—secara alamiah—adalah mengurangi jam kerja dan menaikkan upah. Tetapi, kebutuhan pekerja tak sebatas kebutuhan fisik untuk bertahan hidup. Namun, ia juga mengembangkan potensinya sebagai manusia—pendidikan, kebudayaan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain.
Bung Karno sadar, karena logika kapital yang sekedar cari untung itu, maka si kapitalis harus terus-menerus menumpuk meerwaarde (nilai tambah). “Ujung-ujungnya adalah pemiskinan (verelendung),” kata Bung Karno. Karena itu, Ia sangat yakin, tak ada kesejahteraan bagi buruh di bawah kapitalisme.
Akhirnya, Bung Karno menyimpulkan, jika hendak mengakhiri penindasan, termasuk di pundak kaum pekerja, maka sistim kapitalisme harus dihapuskan. Dengan demikian, gerakan buruh pun harus punya politik, yakni anti-kapitalisme.
Kebebasan politik
Menurut Bung Karno, perjuangan politik paling minimum, serendah-redahnya imam politik, adalah mempertahakan “politieke toestand”—nasib politik, yakni sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas berpendapat.
Politieke toestand ini penting bagi gerakan buruh. Dengan adanya situasi politik yang relatif terbuka, kaum buruh punya ruang untuk mendirikan serikat buruh secara legal, punya hak untuk mogok, dan melancarkan protes. Pendek kata, politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih tinggi lagi.
Sebaliknya, jika kondisi politik itu kurang bebas, yang menyebabkan buruh sulit untuk berserikat, tidak punya hak mogok, dan tidak bisa berkumpul secara bebas dan terbuka, maka gerakan buruh akan melemah. Akibatnya, kaum buruh tidak punya ruang dan kesempatan untuk melawan kesewenang-wenangan atas dirinya dan menuntut perbaikan atas kondisi kerjanya.
Sama dengan reformasi 1998 lalu. Dengan adanya kebebasan politik pasca reformasi itu, kaum buruh punya ruang untuk mendirikan serikat secara legal, melancarkan pemogokan, dan menggelar rapat/pertemuan terbuka. Reformasi memberikan ruang bagi buruh untuk mengekpresikan diri, berbicara, melawan kebijakan pengusaha maupun penguasa, dan lain-lain.
Karena itu, Bung Karno selalu menganjurkan, serikat buruh paling minimal harus memperjuangkan syarat-syarat politik yang memungkinkan baginya untuk melawan dan memperjuangkan nasibnya. “Subur dan kuatnya serikat buruh tergantung pada keadaan politik,” tegasnya.
Menentang politik meminta-minta
Bung Karno menolak politik meminta-minta, yakni politik gerakan buruh yang menyandarkan nasibnya pada kebaikan pengusaha. Ini sama dengan politik mengemis perbaikan nasib.
Sejak awal, seperti dituliskan di atas, Bung Karno tidak percaya adanya perbaikan nasib atas itikad baik pengusaha. Ia menolak tegas upaya mengharmoniskan kepentingan pengusaha dan kaum buruh. Baginya, ideologi persamaan kebutuhan antara modal dan kerja adalah ideologi yang sesat.
Bung Karno yakin, perbaikan nasib bagi kaum buruh, termasuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, hanya mungkin terjadi bila gerakan buruh punya kekuatan atau daya tekan untuk memaksa pengusaha. Tanpa melakukan desakan yang kuat, pengusaha akan bergeming.
Untuk itu, gerakan buruh harus melakukan machtsvorming, yakni proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan. Machtsvorming itu dilakukan melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan koperasi-koperasi buruh, dan lain-lain sebagainya.
Tanpa machtsvorming, kata Bung Karno, kaum buruh tidak akan mungkin melepaskan belenggu penindasan dari pundaknya. “Kutub kapitalisme akan dikalahkan oleh kutub proletariat, diganti dengan sintesa baru, yakni sintesanya dunia yang tiada klas,” ujar Bung Karno.
Sumber : Timur Subangun / Berdikari Online
0 komentar:
Post a Comment