3/24/13
0 komentar

Gugatan terhadap Harkitnas (Tetralogi Pramoedya dan sang Pemula)

2:32 PM

Oleh: Th Sri Rahayu Prihatmi

KETIKA hari ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, ada seorang pengarang yang sebenarnya menggugat terhadap salah pilih sejarah untuk hari ini. Dia adalah Pramoedya Ananta Toer, yang dengan tetraloginya Bumi Manusia

(1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988), dan tulisan tentang Tirto Adhi Soerjo yang berjudul Sang Pemula (1985) sebenarnya menggugat sejarah.


Menurut Pram, awal kebangkitan nasional adalah "Sarekat Priyayi" yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo pada tahun 1906, dan bukan Budi Utomo. Alasannya: semangat dan wawasan "Sarekat Priyayi" lebih luas dari Budi Utomo. Budi Utomo menggunakan bahasa Jawa dan Belanda, sedangkan "Sarekat Priyayi" menggunakan lingua franca -bahasa bangsa-bangsa yang terperintah. Menurut Pram, "Sarekat Priyayi" merupakan peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional.

RM Tirto Adhi Soerjo -meminjam istilah Pramoedya- adalah "kenyataan hulu" atau kenyataan historis yang merupakan cikal bakal dari "kenyataan hilir" tokoh Minke tetralogi Pramoedya. Dalam tetralogi keempat: Rumah Kaca, disebutkan oleh sang pencerita orang pertama -Jacques Pengemanann- bahwa nama Minke bukan nama yang diberikan oleh ayahnya. Inisial Minke sebenarnya RM TAS (Tirto Adhi Soerjo).

Ketika Tirto menjadi Minke, wajahnya tampil luar biasa. Kecemerlangan otak, idealisme yang sangat tinggi, kisah-kisah cinta yang memukau, serta kisahnya sendiri yang sangat tragis mengharukan, merupakan daya tarik yang luar biasa dari tetralogi ini. la justru meninggal setelah dibebaskan dari pembuangannya yang lima tahun di Ambon, karena segala miliknya dibekukan tanpa dasar keputusan pengadilan, dan kebebasannya dirampas.

"Kenyataan hulu" menunjukkan bahwa Tirto mengalami pembuangan, bahkan dua kali: pada tanggal 10 Mei 1910 dibuang ke Telukbetung selama dua bulan, kemudian pada akhir tahun 1913 ke Ambon selama enam bulan. Dalam fakta Tirto mengagumi Jenderal Van Heutz, dalam fiksi Minke dikagumi Van Heutz. Bahkan dikabarkan Minke kesayangan Van Heutz. Awal perkenalannya dengan Sang Gubernur Jenderal itu karena ia dibawa wartawan De Locomotief bertemu dengan anggota Tweede Kamer, Ir H van Kollewijn di kamar bola De Harmonie pada hari pertama kedatangannya di Batavia untuk melanjutkan studi di Stovia.

Selanjutnya dilukiskan bahwa Van Heutz sering meminta pertimbangan Minke dalam berbagai hal. Kadang-kadang ia dijemput langsung oleh Gubemur Jenderal itu. Tidak aneh kalau ia dikabarkan kesayangan Van Heutz, bahkan yang terakhir itu menempatkan diri sebagai seorang sahabat ketika menyarankan Minke untuk menikahi Prinses van Kasiruta, daripada mengusahakan agar Prinses dapat pulang ke negerinya.

Meskipun Minke menangkap hal tersebut sebagai kiat Gubermen yang menggunakan teknik "pemadaman di ranjang pengantin" seperti yang diterapkan kepada Gadis Jepara alias Kartini, ia terima dengan bahagia lamaran ayah Kasiruta, karena sang ayah juga didesak Gubernur untuk segera menikahkan puterinya. Hal tersebut disebabkan sejak pandang pertama ia memang berniat memperistri wanita yang mirip istri pertamanya itu. Dalam kehidupan nyata Tirto memang mempunyai istri seorang Prinses, yaitu Prinses Fatimah - puteri tertua Sultan Bacan - yang dinikahi Tirto pada tahun 1905.

Namun lebih dari itu, yang merupakan roh tetralogi ini sebenarnya adalah kisah yang tampaknya murni fiktif: perjalanan cinta Minke dengan Annelies -boneka rapuh cantik jelita- yang beribukan Nyai Ontosoroh: batu karang anggun. Kisah berakhir dengan kematian Annelies di negeri Belanda, karena berdasarkan hukum Belanda ia harus berada dalam asuhan istri ayahnya yang sah, sebab si ayah meninggal di sarang pelacuran sesudah menderita stres karena caci maki anaknya yang sah.

Meskipun demikian, Nyai Ontosoroh yang kemudian menikah dengan Le Boucq alias Jean Maramis, tetap merupakan ibu rohani Minke sampai akhir hayatnya.

Istri kedua Minke, Mei, juga fiktif. Sebab istri Tirto selain Prinses Fatimah adalah RA Siti Habibah yang dikabarkan melek huruf berkat didikan Tirto. Kehadiran tokoh-tokoh fiktif yang tentu saja juga melahirkan peristiwa-peristiwa fiktif ini, sah kehadirannya dalarn sebuah karya sastra, meskipun tokoh utamanya bertolak dari tokoh nyata.

Pencuatan Tirto

Penting untuk dicermati, bahwa tokoh-tokoh yang selama ini kita kenal sebagai tokoh besar dalam sejarah, menjadi tokoh yang kualitasnya jauh di bawah Minke. Tokoh fiktif tiga serangkai dalam tetralogi: Douwager, Wardi, dan Tjiptomangun adalah tokoh-tokoh nyata dalam pergerakan nasional: Douwes Dekker alias Setyabudi, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro, dan dr Tjiptomangunkusumo.

Baik dari sudut pandang Minke maupun dari sudut pandang Jacques Pangemanann tampak bahwa Minke sangat lebih berkualitas. Bagi Pangemanann, tiga serangkai itu lebih banyak menimbulkan kemarahan dari pada penghargaan. Sebaliknya kepada Minke, Pangemanann mengagumi sekaligus menganggapnya sebagai guru, meskipun kesengsaraan sampai kematian Minke merupakan hasil keahliannya: ia seorang ahli kolonial, mantan komisaris polisi yang bekerja di Algemeene Secretarie (Sekretariat Negara).

Tokoh fiktif Mas Tjokro jelas berangkat dari tokoh nyata pemimpin Sarekat Islam terkemuka: Umar Said Tjokroaminoto. Pangemanann menilai Mas Tjokro sebagai mendapat durian runtuh dengan dibuangnya Minke ke Ambon. Lebih-lebih dengan penilaiannya terhadap julukan pers luar negeri terhadap Mas Tjokro: "Kaisar tanpa mahkota". Pangemanann mencibir Mas Tjokro yang mungkin menganggap julukan tersebut sebagai kehormatan.

Menurut dia, bagi terpelajar yang mengerti sejarah dan semangat Eropa, julukan tersebut sebuah penghinaan.

Tantangan bagi Sejarawan

Tetralogi Pramoedya dan Sang Pemula sebenarnya merupakan tantangan bagi para sejarawan untuk memeriksa kembali lembaran sejarah. Namun, seandainya dapat dibuktikan bahwa Tirto memang tidak lebih kualitasnya dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, pengarang tetralogi ini tidak dapat dituntut di depan meja hijau. Sebab kalau demikian, akan terulang sejarah pahit HB Jassin yang harus mempertanggungjawabkan imajinasi Ki Panji Kusmin di depan pengadilan. (24)

-Prof Dr Th Sri Rahayu Prihatmi MA, Guru Besar Fakultas Sastra Undip
@[Suara Merdeka, 20 Mei 2005]

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top