Dolores Ibarruri, Rosa Luxemburg, Clara Zetkin. Nama-nama itu mungkin sudah akrab di telinga para feminis. Buku-buku tentang ketiga tokoh itu juga sudah banyak beredar dan menjadi referensi umum gerakan perempuan.
Namun, kalangan feminis sangat jarang menoleh ke timur tengah, tempat dimana kaum perempuan juga memainkan peranan yang tidak sedikit. Salah satunya adalah Laila Khalid, anggota Front Rakyat Untuk Pembebasan Palestina (PFLP), salah satu partai beraliran Marxis di negeri Yasser Arafat tersebut.
Laila Khalid, seperti juga revolusioner kebanggannya, Che Guevara, menjadi icon dalam pembebasan nasional Palestina. Salah satu fotonya memperlihatkan dirinya mengenakan pakaian tradisional perempuan Arab, Keffiyah, dengan memegang senjata AK-47 di tangannya. Ini bukan saja gambar yang luar biasa, tetapi sekaligus bantahan terhadap mereka-mereka yang sering merendahkan kaum perempuan Arab.
Memilih Gerakan Politik
Perempuan revolusioner ini lahir pada tanggal 9 April 1944 dari latar-belakang keluarga kelas menengah di Haifa, Pelestina. Ketika masih berusia 4 tahun, tepatnya tahun 1948, Laila bersama ratusan ribu orang Palestina lainnya dipaksa meninggalkan rumahnya dan menjadi pengungsi akibat serangan Israel.
Seluruh keluarganya saat itu, kecuali ayahnya yang memilih tinggal untuk berjuang, harus berpindah ke Tyre, sebuah daerah di Lebanon.
Pada tahun 1952, George Habash, seorang marxist dan tokoh pembebasan Palestina, bersama dengan Haddad, Hani Al Hindi, dan Ahmad Al Khatib membentuk organisasi bernama Gerakan Nasionalis Arab (ANM). Tujuan organisasi ini adalah menyatukan kembali dunia Arab dan melawan kolonialisme. Pendirian organisasi ini bertepatan dengan gerakan penggulingan monarkhi pro-Inggris di Mesir oleh Gamal Abdul Nasser.
Pada tahun 1958, ketika usianya masih 15 tahun, Laila sudah bergabung dengan gerakan ANM dan banyak dipengaruhi teori-teori revolusioner: Franz Fanon, Lenin, Mao Zedong, Ho Chi Minh, Kim Il Sung, dan Che Guevara. Laila juga sempat menginjakkan kaki di bangku Universitas, yaitu Universitas Beirut, dan menjadi aktivis mahasiswa di sana. Dia juga sempat ke Kuwait untuk mengajar di taman kanak-kanak, sambil mengorganisir sel PFLP di sana.
Pada bulan Desember 1967, enam bulan setelah Israel merebut Jerussalem timur, West Bank, dan jalur Gaza, George Habash mendirikan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Organisasi ini beraliran Marxis revolusioner, dan banyak rujukannya mengambil pengalaman Tiongkok dan Vietnam.
“Pada tahun 1967, saya menemukan kebenaran yang tak terbantahkan, bahwa untuk membebaskan Palestina kami harus banyak belajar dari Tiongkok dan Vietnam,” kata George Habash dalam sebuah wawancara.
Saat itu, setelah ANM bubar dengan sendirinya, Laila menjadi bagian dari PFLP. Dan sejak itu dia menjadi aktivis PFLP dan masih hingga sekarang ini.
Dua Kali Membajak Pesawat
Untuk menarik perhatian dunia internasional atas penderitaan rakyat Palestina, PFLP merancang sejumlah aksi pembajakan pesawat. Meskipun gerakan ini sudah sering dilakukan oleh PFLP, tetapi Laila Khalid merupakan perempuan Palestina pertama yang terlibat dalam gerakan ini.
Laila sendiri terlibat dalam dua operasi pembajakan pesawat, yaitu: yang pertama adalah pembajakan pesawat TWA pada bulan Agustus 1969, dan yang kedua adalah pembajakan pesawat milik Isral, El Ai, september 1970.
Aksi ini, sebagaimana diterangkan oleh Laila kepada wartawan Free Arab Voice, Ibrahim Alloush, mempunyai dua tujuan pokok: pertama, aksi ini ditujukan kepada dunia tentang eksistensi Bangsa Palestina. “Pada saat itu, bangsa Palestina hanya diharga sebatas sebagai pengungsi. Padahal, kami adalah sebuah bangsa,” katanya. Kedua, tujuan kedua aksi itu adalah membebaskan seluruh tahanan politik Palestina di penjara Israel.
Aksi pertama dilakukan terhadap pesawat Boeing 707 milik maskapai Trans World Airlines dalam perjalanan Roma menuju Athena. Ia memaksa pilot mendarat di Bandar Udara Internasional Damaskus, Suriah, setelah terbang di atas Haifa, kota kelahirannya. Setelah penumpang dan awaknya turun, Laila dan kawan-kawannya meledakkan pesawat tersebut.
Pasca aksi itu, Laila melakukan sedikitnya 6 kali melakukan operasi plastik agar tidak ada orang yang mengenal wajahnya. “Dokter bedah hanya melakukan sedikit perubahan di hidung dan dagu saya. Tapi hal itu sudah membuat hampir semua orang tidak mengenali saya,” kenang Laila kepada Katherine Viner, wartawan The Guardian.
Aksi kedua dilakukan kepada pesawat El Ai, yang terbang dari Amsterdam. Aksi ini dilakukan oleh Laila bersama dengan seorang aktivis Partai Komunis Nikaragua, Patrick Arguello. “Di bandara Amsterdam, kawan saya Patrick dan saya sempat dihentikan oleh petugas Israel. Mereka memeriksa tas kami secara menyeluruh, tetapi tidak berhasil menemukan apa-apa. Karena granat saya sembunyikan di dalam saku,” kata Laila.
Di tengah penerbangan, ketika Patrick mencoba untuk masuk ke kabin pilot, petugas bersenjata menembaknya empat kali. Sementara itu, Laila dipukul oleh petugas dari belakang dan kemudian tidak sadarkan diri. “Ketika saya terbangun, tangan saya sudah terikat.”
Terhadap kawannya yang tewas, Patrick Arguello, Laila berkata: “Patrick Arguello, usia 27, ayah dari tiga anak, rakyat Nikaragua, lahir di Fransico, Amerika Serikat, dinyatakan meninggal. Apa yang mendorong orang yang tidak berdarah Palestina ini mengambil misi berbahaya? dia adalah seorang komunis revolusioner. Aksi gagah beraninya adalah bentuk solidaritas internasional. Sebuah api kehidupan telah padam, yang menerangi dunia sesaat. Ia telah membuka jalan ke Palestina. Hidup Arguello, sehingga banyak rakyat kami, mengambil jalan revolusi!”
Pesawat mendarat di Bandar Udara Heathrow, London. Laila dibawa ke kantor polisi dan ditahan selama 28 hari di sana, sebelum akhirnya dibebaskan pada tanggal 1 oktober karena program pertukaran tawanan.
“Aku mewakili Rakyat Palestina, bukan perempuan”
Meskipun dia seorang perempuan, juga terlahir dari sebuah masyarakat Arab yang kurang menghargai martabat perempuan, tetapi Laila Khalid tidak pernah berhenti menjelaskan bahwa perjuangan paling mendesak kaum perempuan Palestina adalah bejuang bersama dengan seluruh rakyat untuk pembebasan nasional.
Karena itu, tidak sedikit buku berbahasa inggris tentang hak dan pembebasan perempuan yang mendiskreditkan Laila Khalid, dan menudingnya telah menggunakan konsep “maskulin” dalam pembebasan perempuan.
Laila bukan seorang yang anti-pembebasan perempuan, ataupun berusaha mengesampingkannya. Akan tetapi, Ia menolak menempatkan konsep pembebasan perempuan sebagai sesuatu yang khusus, terlalu dititik-beratkan. Ia lebih menekankan pentingnya penyatuan seluruh kekuatan untuk melawan masalah pokok keseluruhan masyarakat, seperti kemiskinan atau keterbelakangan.
“Saya percaya bahwa kami berjuang bersama kaum lelaki progressif karena alasan-alasan sosial,” katanya.
Terhadap rekan-rekan perempuannya di barat, Laila punya sindiran tersendiri: “Kami merasa sangat lucu ketika mereka benar-benar percaya bahwa mereka telah melakukan revolusi jika mereka membuka pakaian di depan umum, mengambil alih gedung universitas, atau berteriak kecabulan birokrat.”
Laila pernah punya ucapan yang sangat terkenal: “Aku mewakili rakyat Palestina, bukan perempuan.”
Pernyataan itu memiliki gaung yang sama dengan pernyataan seorang pejuang perempuan Irlandia Utara (IRA), Mairead Farrell, yang ditembak mati oleh SAS di Gibraltar tahun 1988. Mairead berkata: “Aku tertindas sebagai perempuan, tetapi aku juga tertindas karena aku Irlandia…kami tidak dapat mengakhiri penindasan kami sebagai perempuan sebelum mengakhiri penindasan negara kami.”
Dalam forum perempuan internasional, Laila Khalid bersama delegasi Palestina lainnya sangat kritis dengan proposal gerakan perempuan negara maju. Di situ Laila mengkritik proposal perempuan negara maju mengenai “kekerasan terhadap perempuan”, tetapi mengabaikan persoalan perempuan di bawah pendudukan (kolonialisme).
“Pelecehan seksual adalah masalah individu, terlepas hal itu merajalela, sementara masalah pendudukan (penjajahan) adalah masalah rakyat secara keseluruhan.”
Menginspirasi banyak perempuan dan rakyat Palestina
Sekarang ini, kendati dia tidak lagi terlibat langsung dalam perjuangan bersenjata, tetapi Laila masih bermimpi mengenai sebuah jalan revolusi di negerinya.
Sampai sekarang ini Laila masih terlibat aktif dalam perjuangan revolusioner rakyat Palestina. Dia sekarang menjabat sebagai anggota Komite Sentral (CC) PFLP dan mewakili partainya di Dewan Nasional Palestina.
Dalam peringatan HUT PFLP ke-42 tahun lalu, sedikitnya 70.000 ribu rakyat telah bergabung, termasuk semakin banyak keterlibatan perempuan. Mengenai keterlibatan para perempuan ini, sebagaimana diterangkan oleh seorang perempuan muda PFLP, Shireen Said, bahwa keterlibatan semakin banyak perempuan sangat terinspirasi oleh Laila Khalid.
“Tentu saja, Laila Khalid adalah pejuang nasional dan internasional yang menginspirasi seluruh perempuan yang berjuang untuk kebebasan, keadilan sosial, dan bangsa mandiri sejahtera untuk dirinya dan generasi mendatang,” kata Shireen Said.
Menurut Khalid, perjuangan rakyat Palestina akan mengambil banyak bentuk. Perjuangan bersenjata, intifada, dan sekarang keduanya. “Jika pendudukan masih terus bertahan di tanah kami, maka perjuangan pun akan terus berlanjut.”
Terhadap masa depan perjuangan Palestina, Laila Khalid sangat percaya bahwa rakyat Palestina akan mencapai kemenangan revolusinya. “Saya sangat percaya, jika rakyat Palestina terus berjuang, mereka akan mencapai itu.”
Sumber : Berdikari Online
Ulfa Ilyas, Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD)
15 Februari 2011
0 komentar:
Post a Comment