3/11/13
0 komentar

Ironi Tanah Surga

7:12 PM


Tanah Surga…Katanya (2012)

Sutradara : Herwin Novianto
Produser: Deddy Mizwar, Gatot Brajamusti, dan Bustal Nawawi
Tahun Produksi: 2012
Durasi: 90 menit
Pemain: Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani Azzahra, Ringgo Agus Rahman, dan Andre Dimas Apri

Cerita tentang ketertinggalan pembangunan di daerah perbatasan bukan hal baru di telinga saya. Namun, karena saya jauh dari daerah perbatasan, cerita itu tidak begitu mengusik. Akan tetapi, begitu menonton film berjudul “Tanah Surga…Katanya,” keprihatinan saya langsung terbangunkan.


Film yang disutradarai oleh Herwin Novianto cukup menggugat. Gembar-gembor pertumbuhan ekonomi, yang berulangkali diumumkan pemerintah, langsung runtuh di hadapan saya. Saya pun menggugat: apagunanya pertumbuhan sehebat itu jikalau sebagian besar rakyat, termasuk di perbatasan, tidak merasakannya.

Uniknya, film ini mengangkat banyak sosok: Salman (Osa Aji Santoso), seorang murid SD; Hasyim (Fuad Idris), kakek Salman sekaligus bekar sukarelawan konfrontasi dengan Malaysia di tahun 1960-an;  Astuti (Astri Nurdin), seorang guru SD yang ditugaskan di perbatasan; dan Anwar (Ringgo AR), seorang dokter yang ditugaskan di daerah perbatasan.

Hasyim, yang bekas sukarelawan itu, tak pernah surut jiwa patriotismenya. Ia berusaha menularkan jiwa patriotisme itu kepada cucunya melalui cerita-cerita heroik di era Konfrontasi. Namun, jiwa nasionalisme Hasyim ditentang oleh kenyataan. Anaknya, Haris (Ence Bagus), lebih memilih bekerja dan menetap di Malaysia.

Komentar Haris cukup menggelitik. Ketika bapaknya, Hasyim, menyatakan Indonesia lebih makmur dari Malaysia, Haris membantah, “Jakarta yang makmur. Bukan di sini (pelosok Kalimantan).”

Kondisi di perbatasan cukup memprihatinkan. Satu-satunya sekolah di desa itu hanya punya dua kelas: III dan IV. Itupun mereka hanya diajar oleh seorang guru bernama Astuti. Fasilitasnya sangat buruk. Tidak punya tiang bendera yang kokoh. Fasilitas belajar-mengajar tidak memadai. Bahkan, karena minimnya guru dan buku, anak-anak tidak menghafal lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Kondisi kesehatannya tak kalah buruk. Desa ini tidak punya fasilitas kesehatan yang memadai. Satu-satunya yang diandalkan desa ini adalah seorang dokter yang dikirim oleh pemerintah (Anwar). Itupun, ketika ada pasien yang sakit parah, mereka kesulitan mengakses obat dan layanan Rumah Sakit. Butuh ratusan ribu untuk bisa ke Rumah Sakit di kota.

Perekonomian perbatasan lumpuh. Hampir semua barang kebutuhan didapat dari Malaysia. Mata uang yang berlaku pun adalah ringgit Malaysia. Hasil produksi masyarakat, baik pertanian maupun kerajinan, menemukan pasarnya di negeri seberang.

Sebaliknya, di seberang sana, di Serawak, Malaysia, pembangunan menggeliat begitu perkasa. Perekonomian tumbuh pesat.  Bagi orang perbatasan, Malaysia adalah surga. Tak sedikit warga Indonesia di perbatasan yang memilih pindah kewarganegaraan.

Dalam film ini juga ditunjukkan, betapa praktek KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) selalu menjegal proyek pembangunan di daerah perbatasan. Banyak anggaran pembangunan dikorup oleh penguasa lokal. Maklum, kontrol sosial—baik oleh publik maupun media—nyaris tidak ada.

Namun, di dalam film ini juga banyak kekonyolan. Pertama, Astuti menjadi guru di daerah perbatasan karena aksi konyol. Saat proses penunjukan, ketiaknya gatal sehingga harus unjuk tangan. Lantaran itu ia dianggap bersedia dikirim ke perbatasan. Ini terlalu berlebihan dan konyol. Begitu juga dengan dokter Anwar yang sekedar “coba-coba” ke perbatasan.

Kedua, Penonjolan semangat patriotisme di film ini juga terkesan “maksa-maksain”. Nasionalisme di dada pak Hasyim, yang kekeuh anti-Malaysia, menjadi terasa sangat absurd. Nasionalisme Indonesia terkesan Chauvinis. Nasionalisme Hasyim lebih banyak ditunjukkan melalui dialog dan cerita-cerita tentang konfrontasi dengan Malaysia. Saya kira, mengajari generasi sekarang dengan nasionalisme semacam itu tidak akan laku. Seharusnya, film ini menciptakan pesan nasionalisme melalui alur cerita dan agegan.

Ketiga, dalam banyak adegan, film ini ditunggangi iklan produk tertentu secara terang-terangan: iklan obat, shampoo, dan lain-lain. Saya kira, titipan iklan itu cukup mengganggu “mood” penonton. Konon, ini ciri khas film-film yang diproduksi oleh Deddy Mizwar.

Latar belakang yang diangkat film ini cukup bagus, yakni ketertinggalan pembangunan di perbatasan. Sayang, alur ceritanya kurang dikembangkan dan dikemas secara menarik. Jadinya, ya, kita dipaksa menghirup nasionalisme dari suasana keprihatinan.

Anna Yulianti, pemerhati masalah sosial, perempuan, dan HAM
@[berdikari online / 11/03/2013]

0 komentar:

Post a Comment

 
Toggle Footer
Top